Surakarta – Januari 2025 Riuh sorak sorai terdengar dari dalam aula SMP Negeri 1 Surakarta. Anak-anak tertawa riang sambil melihat kawan-kawan mereka menggerakan berbagai jenis wayang, ada yang memperagakan gunungan, karakter hewan, maupun karakter wayang lainya. Siang itu, cuaca panas tak mematahkan ratusan siswa yang sedang mengikuti kegiatan Lokakarya Wayang Sinematik yang diselenggarakan pihak sekolah dalam rangka Implementasi Kurikulum Merdeka. Kegiatan lokakarya dilaksanakan selama empat jam dibagi dalam dua sesi.
“Ini merupakan kegiatan P5 bertema kearifan lokal yang kami adakan dengan tema Nguri-uri seni wayang kulit nusantara. Workshop oleh Yayasan Sang Pamarta Indonesia ini sangat menyenangkan, peserta pun terlihat bahagia, mereka senang dan terinspirasi. Semoga ke depan dengan adanya kegiatan ini, wayang akan tetap lestari “ kata Ardi Gunawan, S.Sn selaku pengajar seni budaya.
Pada sesi pertama, anak-anak diberi pengertian tentang wayang sinematik, yakni sejarah perkembangan wayang sandosa yang lahir tahun 1981 di ASKI Surakarta, hingga perkembangan wayang multimedia masa kini. Adapun pemateri pada kegiatan ini adalah Ki Wahyu Dunung Raharjo dan Ki Canggih Tri Atmojo Krisno. Selain itu pemateri juga menyampaikan tentang pentingnya wayang kulit bersinergi dengan platform digital, agar terus dapat bertahan di era kemajuan teknologi dan informasi. Sesi pertama ini diramaikan juga dengan tanya jawab antara peserta dan pemateri. Banyaknya anak yang berdiri dan melemparkan pertanyaan menandakan mereka antusias terhadap mengikuti acara tersebut.
Pada sesi kedua, siswa-siswi diberi kesempatan untuk mencoba manjadi dalang dan mengenal teknik-teknik gerakan dalam wayang sinematik, bersama mentor Ki Canggih Tri Atmojo. Lulusan jurusan pedalangan ISI Surakarta tersebut mengajarkan beberapa gerakan dan teknik kepada para siswa. “Teknik gerakan pada wayang layar lebar ini berbeda dengan gerak wayang tradisi, karena wayang kulit tradisi dimainkan oleh satu orang dalang, sedangkan wayang layar lebar ini dimainkan oleh banyak dalang sekaligus “ ungkap Ki Canggih saat menjelaskan kepada para siswa. Berbeda dengan wayang kulit tradisi, genre wayang sinematik tidak lagi menggunakan lampu blencong sebagai penerangan cahaya utama, namun menggunakan LCD Projector sebagai pengganti lampu. Siluet bayangan wayang berpadu dengan background realis yang diproyeksikan LCD Projektor ke dalam bentangan layar putih menjadi magnet tersendiri. Ki Wahyu Dunung Raharjo seorang dalang muda dari Kartasura sekaligus ketua Yayasan Sang Pamarta Indonesia, menyampaikan pula bahwa sampai saat ini telah banyak seniman yang memproduksi karya-karya wayang di nusantara yang bergenre sinematik, mulai dari Wayang Sandosa (1981) di Surakarta, lalu Sandosa Kalimataya Jakarta (2004), Wakulmumed Jakarta (2008), Wayang Cinema ISI Jogja (2014), Sinewayang Komunitas SABANUSA (2017), Wayang Pamarta Multimedia (2018) dan Animawayang (2024).
Antusiasme siswa terlihat dari banyaknya anak-anak yang mengajukan diri untuk mencoba memainkan wayang. Gerakan-gerakan wayang lucu yang dimainkan oleh para siswa, dipadukan dengan setting bacground realis yang disorotkan dari LCD Projector mengundang gelak tawa dan decak kagum siswa-siswa lain yang menonton. Sesekali riuh tepuk tangan pun terdengar memecah suasana.
Ki Wahyu Dunung Raharjo juga menyampaikan bahwa perlu disediakan ruang-ruang untuk menjadi laboratorium anak-anak dalam bereksperimen dan berkreasi. “Anak-anak sekarang itu cenderung kreatif dan mampu mengakses berbagai informasi, sudah seharusnya kita sediakan ruang bagi mereka untuk berkreasi, sekaligus mengenal seni tradisi kita, juga dengan harapan generasi penerus ini akan terus mengembangkanya. Karena zaman selalu berubah, selera masyarakat juga berubah, kesenian kita juga harus mengikuti. Ketika anak-anak zaman sekarang lebih suka nonton marvel dan disney, ya itulah tantangan kita. Bagaimana caranya kita membuat anak-anak menonton wayang, serasa menonton film” kata seniman muda yang telah acap kali mengenalkan wayang kulit ke luar negeri tersebut.