SUKOHARJO- Thinthier Setia Hati, Di Jawa, para wali berusaha keras untuk menjelaskan tauhid agar dapat dipahami oleh masyarakat. Namun sepertinya ceramah atau khotbah saja nyaris tidak efektif. Buktinya, perkembangan populasi Muslim kala itu tidak signifikan. Beruntung belakangan hadir Sunan Kalijaga, Wali sekaligus Budayawan yang tidak menginginkan budaya Jawa tergerus budaya impor termasuk budaya Arab sekalipun.
Menyadari keterbatasan bahasa dan platform arsitektur otak manusia, Sunan Kalijaga lantas berinisiatif untuk memanfaatkan budaya sebagai alat peraga dalam berdakwah. Setidaknya keterbatasan bahasa bisa disiasati dengan peragaan aktif seperti wayang. Rupanya gagasan Sunan Kalijaga disepakati dan didukung oleh para wali lainnya, dan muncullah sejumlah lakon-lakon wayang “Carangan” yang terbukti jauh lebih efektif ketimbang pidato atau khotbah semata.
Salah satu lakon yang paling populer adalah “Bima Suci” yang dibukukan dalam Serat Bima Suci, tulisan Yasadipura I.
Lakon ini mencoba menggambarkan bagaimana memahami soal ketuhanan dengan keterbatasan arsitektur otak manusia.
Kayu Gung Susuhing Angin
Lakon Bima Suci diawali dengan hasrat Bima untuk mengetahui Asal-Usul Kehidupan (Sangkan Paraning Dumadi) dan tujuan akhir setelah kematian (Kasedan Jati). Digambarkan dalam lakon tersebut, Bima tidak punya siapa-siapa yang bisa ditanya soal keruhanian tersebut. Satu-satunya guru yang dia miliki hanyalah Dronacharya dan Bima tahu persis bahwa Drona adalah guru perang (kemiliteran), bukan guru agama. Namun Bima nekad menanyakan soal asal-usul kehidupan dan target utama setelah kematian kepada Drona.
Melihat hasrat Bima yang menggebu-gebu, Drona tidak tega untuk mengatakan yang sebenarnya bahwa dia tidak tahu. Drona menggunakan analogi dalam teknik peperangan, bahwa manakala seseorang sudah terjepit karena kalah kekuatan maupun strategi, maka tinggal kesungguhan dan keberanianlah yang mampu mendatangkan keberuntungan untuk berjaya atau setidaknya selamat dalam peperangan.
Dengan analogi ini, Drona lantas menguji sang Bima. Drona berkeyakinan bahwa hasrat yang mulia pasti akan ada jalan jika diupayakan dengan kesungguhan. Ini mirip Qhi dalam ilmu beladiri. Kepalan tangan kita hanyalah daging (otot) dan puluhan tulang kecil-kecil yang rata-rata lebih kecil dari puntung rokok. Jika kita benturkan dengan tembok atau pohon, secara logika akan rusak. Tapi jika kita sodokkan dengan penuh kesungguhan, ternyata sakit pun tidak. Bahkan jika kesungguhan kita tingkatkan lagi, justru dinding atau pohonnya yang bakal rusak. Drona selaku guru perang, tentu sangat menguasai hal ini.
Bima : “Wahai guru, tolong tunjukkan padaku sangkanparaning dumadi dan kasedan jati”
Drona : “Bima, ada 2(dua) syaratnya.., Kamu harus buktikan mampu mendapatkan kayu gung susuhing angin dan tirta pawitra”
Bima : “Dimana aku harus mencarinya?”
Drona : “Di hutan Candramuka. Hutan itu gawat sekali, sering menelan korban. Kalau tidak siap, jangan berangkat.”
Tanpa pikir panjang Bima langsung menuju ke hutan Candramuka yang konon sangat angker. Disana tidak menemukan apapun selain 2(dua) raksasa yang justru memburunya. Singkat cerita, 2(dua) raksasa dibunuh oleh Bima dan ternyata mereka jelmaan dari Dewa Bayu dan Dewa Indra. Dalam Mahabharata orisinil, Bayu adalah dewanya kekuatan dan angin, sedang Indra dewanya kejayaan. Lakon ini meminjam tokoh 2(dua) dewa tersebut untuk melambangkan bahwa kesungguhan Bima mendapat pertanda baik, mendapat kekuatan dan kejayaan. Merasa tidak menemukan “Kayu Gung Susuhing Angin” maka Bima bergegas kembali menghadap sang guru.
Bima : “Waaah ketiwasan guru.., Hutan Candramuka ludes dan saya nggak menemukan apapun selain membunuh 2(dua) raksasa yang ternyata Bayu dan Indra”.
Drona : “Tidak apa-apa muridku.., Aku bangga, kamu sudah berhasil mendapatkan kayu gung susuhing angin”.
Drona lantas menjelaskan bahwa “Kayu” samaran dari “Kayun” atau “Karep” yang artinya hasrat. “Gung” artinya “Besar” dan “Susuhing Angin” adalah “Pusat Kekuatan.” Hasrat yang besar akan memberi kekuatan dan menuntun kita pada kejayaan. Secara simbolik dilambangkan dengan hadirnya Dewa Bayu dan Dewa Indra. Kemauan keras Bima melambangkan khusuknya doa.
Lantas Drona meminta syarat yang kedua.
Drona : “Bima, kamu harus segera mendapatkan tirta pawitra untuk melengkapi syaratnya”
Bima : “Dimana harus kucari..?”
Drona : “Di tengah samudera Minangkalbu”
Bima : “Hah.. dimana itu..?, Aku baru dengar nama itu”.
Drona : “Terserah kamu mencarinya.., Kali ini kamu harus mampu mencarinya sendiri tanpa petunjuk dari siapapun”.
Bima pun bergegas pergi tanpa banyak bertanya lagi. Dia artikan Minangkalbu/MinangQolbu adalah apa yang ada di hati. Maka larilah dia lurus tanpa memilih arah sampai mencapai tepi laut. Disana Bima sempat maju-mundur. Ada rasa takut dan keraguan. Karena masuk ke tengah laut memang sangat berisiko. Bahkan untuk memperpanjang pagelaran, Bima juga sempat dicegah oleh ibu dan saudara-saudaranya (Pandawa) serta Hanuman sebagai kakak seperguruan. Namun akhirnya Bima bertekad bulat untuk masuk ke tengah samudera. Loncatan Bima yang terkenal bisa dari gunung ke gunung itu, kini diarahkan ke tengah laut dan … Byur!!! … Bima pun tenggelam ke dasar samudera.
Awalnya Bima sempat disergap dan dililit secara tiba-tiba oleh ular raksasa bernama Nagabanda. Lilitan itu sedemikian kuat dan merata dari ujung kaki hingga kepala, sehingga sangat sulit untuk melepaskannya. Terlebih itu terjadi dalam air, dimana Bima tentu glagepan karena tidak memiliki insang. Kekuatan Bima yang konon 80 kali tenaga gajah ternyata tidak terlalu berarti menghadapi lilitan kuat ini karena tidak ada ruang gerak untuk meronta. Namun berkat kuatnya keinginan untuk melanjutkan petualangannya mencari tirta pawitra, Bima tidak putus asa dalam kegelapan yang teramat berat itu. Di sela-sela lilitan ternyata kedua jempol tangannya bebas. Bima lantas menggerakkan kedua jempol tangannya dengan harapan dapat melukai sang ular dengan kukunya yang panjang dan tajam.
Ternyata benar, Sang ular terluka sehingga lilitan sedikit mengendor karena kepala sang ular menuju bagian yang terluka. Momentum ini segera dimanfaatkan Bima untuk meronta sekuat-kuatnya hingga mendapat celah untuk menangkap kepala sang Nagabanda. Kuku pancanaka yang sangat tajam itu dihujamkan ke mata dan mulut sang ular sehingga lilitannya makin lemah. Ular itu lantas dirobek-robek layaknya merobek daun pisang tak berdaya. Namun Bima pun terhempas oleh kibasan ular raksasa yang sekarat itu dan jatuh di sebuah pulau karang kecil di tengah samudera.
Bagian ini ingin menyampaikan pesan bahwa pada dasarnya hal yang paling sulit bagi Bima adalah Mengalahkan Nafsunya Sendiri. Ketika dicegah dengan rayuan dan nasihat oleh ibunya dan saudara-saudaranya, Pandawa, dengan mudah Bima mampu mengabaikannya. Padahal Bima adalah figur yang sangat penurut kepada ibunya. Namun kali ini ibunya pun dikesampingkan. Lantas dicegah dengan kekuatan oleh Hanuman, kakak seperguruan yang kondang menaklukkan Rahwana sang raja super sakti. Kali ini pun Bima mampu meloloskan dalam sekejap dengan loncatannya yang melampaui ketinggian gunung. Yang paling sulit justru Nagabanda yang melilitnya tiba-tiba begitu Bima mencapai permukaan samudera. Ular raksasa ini mengibaratkan nafsu. Nafsu memang hanya bisa dikalahkan oleh kemauan keras yang disertai keyakinan bahwa dirinya pasti sanggup mengalahkannya.
Bertemu Dewa Ruci
Bima yang jatuh tengkurap di pulau karang lantas merangkak mencari pegangan untuk berdiri. Begitu menengok batu yang dipegangnya, nampak ada manusia kecil yang hanya setinggi mata kaki tetapi seluruh tubuhnya memancarkan cahaya. Manusia kecil ini adalah Dewa Ruci yang berarti ruh suci. Dewa Ruci lantas menyapa Bima lebih dulu.
Ruci : “Wahai Bima, apa yang kau cari jauh-jauh kesini..?”
Bima semula agak jengkel karena ada anak kecil menyapa tidak sopan layaknya sapaan teman sebaya. Namun Bima yang cerdas tidak segera mengungkapkan rasa geramnya. Dia amati si manusia kecil yang memancarkan cahaya itu dengan saksama. Ternyata manusia kecil itu seperti miniatur dirinya. Wajah dan proporsi tubuh dan pakaiannya benar-benar mencerminkan dirinya. Dalam hatinya tebersit sangka bahwa ini pasti hal yang luar biasa. Maka Bima menjawab sapaan dan menyapanya balik dengan penuh kesopanan.
Bima : “Saya mencari tirta pawitra. Pukulun ini siapa..?
Ruci : “Saya Nawa Ruci Marbudyengrat. Tirta pawitra memang ada disini. Tapi untuk apa..?”
Bima : “Untuk membayar pengetahuan yang saya inginkan, sangkan paraning dumadi dan kasedan jati”.
Ruci : “Siapa yang akan menjelaskan itu kepadamu..?”
Bima : “Dronacharya guruku…”.
Ruci : “Kamu kan sudah tahu bahwa Drona adalah guru perang, dia tidak akan tahu soal keruhanian seperti itu.”
Bima : “Iya, tapi Drona adalah satu-satunya guru yang saya miliki. Maka kepadanya lah tempat saya bertanya.”
Ruci : “Dari mana kamu yakin Drona mampu menjawab..?”
Bima : “Dari rasa Bhaktiku kepadanya dan ketulusannya kepadaku selama ini. Beliau pernah bilang bahwa orang yang mau bertanya pasti akan mendapat jawaban meskipun bukan dari orang yang ditanya…“
Ruci : “Naah.., untuk mendengarkan wejangan gurumu, masuklah ke dalam tubuhku melalui lobang telinga kiriku”.
Bima : “Hua ha ha ha …. mana mungkin saya bisa masuk ke jasad pukulun yang hanya sebesar kelingking”.
Ruci : “Jangan kuatir … kumpulkan segenap tenagamu dan loncatlah setinggi mungkin agar mencapai kupingku”.
Bima pun semakin bingung. Lah wong disuruh masuk ke tubuh yang kecil saja masih bingung kok malah disuruh loncat setinggi-tingginya. Padahal loncatan Bima konon bisa melampaui gunung.
Namun berkat hasrat yang menggebu, meski bingung, Bima tidak berpikir panjang. Dia pilih taat kepada perintah itu ketimbang berkutat dengan kebingungannya, karena dia sadar yang sedang dihadapinya adalah sebuah aura yang luar biasa dan seirama dengan apa yang sedang dicarinya dalam petualangannya ini.
Maka langsung saja Bima meloncat setinggi-tingginya dengan kekuatan penuh. Dan ternyata benar, Bima harus meluncur ke langit untuk mencapai kuping Dewa Ruci. Dewa Ruci yang hanya sebesar kelingking dan hanya setinggi mata kaki, ternyata kupingnya berada jauh di atas awan.
Bagian ini ingin menyampaikan pesan bahwa manakala seseorang berpikir sangat keras untuk mencapai sesuatu dan mengesampingkan hal-hal lain selain fokus pada apa yang dituju, maka sebenarnya dia telah memasuki ambang alam ruhani. Yang ada hanyalah interaksi dengan dirinya sendiri.
Ketika Bima bertemu Dewa Ruci, sebenarnya Bima sudah memasuki ambang alam ruhani. Lakon ini mencoba menjelaskan bahwa di alam ruhani, dimensi ruang sudah tidak berlaku. Besar-kecil, tinggi-rendah, jauh-dekat, arah mata angin sudah tidak berlaku seperti yang kasat mata.
Penjelasan Ketuhanan
Setelah memasuki badan Dewa Ruci, maka Bima menjadi bingung. Tidak lagi tahu arah, tidak ada lagi bobot, melayang-layang tanpa arah. Namun tidak ada juga rasa takut ataupun ngeri. Yang ada hanya rasa nyaman yang luar biasa. Karena sepi, Bima diam saja.., Namun dalam hati Bima bertanya, apa gerangan yang sedang dirasakannya. Tanpa diduga ada suara menjawab, seperti suara sang Dewa Ruci.
Ruci : “Itulah gambaran apa yang disebut sangkanparaning dumadi. Sebelum kamu dilahirkan, kamu berada di jagad seperti itu (Hening Bening..)”.
Bima : “Rasanya nyaman sekali, kenapa..!??”
Ruci : “Karena kamu seirama dengan pusat kekuatan alam, yaitu Dzat Yang Maha Sempurna yang menghidupkanmu di rahim ibumu. Apa saja yang kamu perlukan mengalir sendiri tanpa kamu harus memintanya”.
Bima : “Kenapa saya lantas dilahirkan ke dunia..?”
Ruci : “Itu maunya Sang Maha Penguasa, kamu dilahirkan untuk melakukan kewajiban tertentu.”
Bima : “Kemana kelak aku kembali..?”
Ruci : “Perhatikan warna-warna cahaya yang mengelilingimu sekarang.”
Bima : “Waaahh..!!!, ini muncul panca warna, kuning, merah, hitam dan putih… Semuanya indah dan menyenangkan..”
Dewa Ruci lantas menjelaskan tentang arti warna-warni yang indah tersebut. Intinya warna itu melambangkan hasrat dan nafsu. Semuanya tampak indah menyenangkan. Tapi kalau diikuti, dampaknya tidak sama.
Bima pun termangu-mangu memperhatikan sambil merasakan kenyamanan tiap cahaya tersebut sampai berhari-hari. Akhirnya muncul cahaya kelima yang warnanya aneh dan menghadirkan kenyamanan yang luar biasa jauh lebih nyaman dibanding cahaya-cahaya yang sebelumnya.
Bima : “Pukulun.., ini muncul warna yang aneh, tapi membawa kenyamanan yang luar biasa.”
Ruci : “Warna seperti apa..?!!”
Bima : “Tidak seperti warna yang pernah saya lihat seumur hidup saya. Sungguh tidak ada yang menyamainya.”
Ruci : “Tentu kamu tidak tahu.., karena itulah wujud dari sang Maha Pencipta. Di alam semesta ini tidak ada yang menyamainya, baik yang ada maupun yang ghaib. Kamu hanya bisa merasakan kenyamanannya.”
Bima : “Apa engkau sudah pernah ketemu dengan Nya..?”
Ruci : “Belum. Baru kali ini aku bertemu dengan aura itu. Benar-benar bareng sama kamu.”
Bima : “Lho…!?, Kok aneh.., bukankah pukulun adalah dewata yang tentunya lebih dulu ada ketimbang saya..?!!”
Ruci : “Aku lahir bareng dengan kamu, pada hari yang sama, tabuh yang sama dan saat yang sama.”
Bima : “Waaaahhh..!!!, makin bingung… Lah.., pukulun ini siapa sebenarnya..?”
Ruci : “Aku ya kamu…, kamu ya aku…”
Bima: “Weleeh…, Semakin nggak mudeng. Jadi gimana nih..!?, Apa yang sedang terjadi..!?, Sedang ngapain aku ini..?!!”
………………………………………………….
Rupanya lakon ini juga tidak berani menggambarkan Tuhan lebih eksplisit. Hanya sekadar kehadiran warna cahaya yang sangat asing tidak ada yang sama, sehingga Bima maupun Ruci tidak mampu menamai warna cahaya tersebut.
Penayangannya pun hanya berupa percakapan antara Bima dan Ruci. Tidak ada simbolisasi bentuk wayang maupun permainan cahaya untuk memperagakannya.
Dan yang paling penting lagi, lakon ini ingin menyampaikan pesan bahwa Dewa Ruci bukan ilustrasi Tuhan dan bukan dewata seperti dewa-dewa lain dalam kisah Mahabharata. Disini Dewa Ruci adalah Bima itu sendiri. Dia adalah Bima dalam kehidupan alam ruh yang suci.
Bima Dipaksa Keluar dari Alam Ruhani
Bima rupanya sangat menikmati berada dalam lingkaran kenyamanan yang sedang dia rasakan. Memang konon begitulah rasanya orang yang sedang merasa dekat dengan Tuhan.
Maka Rasul pun mengingatkan bahwa melakukan ritual tidak boleh egois. Karena ibadah tidak hanya ritual. Bekerja mencari nafkah dan berbuat kebaikan bagi sesama juga ibadah. Bahkan nilainya lebih baik, karena yang didapat selain pahala akhirat juga pahala dunia seperti nafkah, kesan baik, dll.
Justru orang yang melupakan kewajiban dunianya bisa menjadi sesat meskipun ritualnya jalan terus. Sengaja melebih-lebihkan ritual juga dilarang karena bisa berakibat melupakan kewajiban keduniaannya.
Dalam lakon Bima Suci ini, Dewa Ruci harus mengusir Bima untuk menghindari kesesatan tersebut.
Ruci : “Bima..!!!, Rasanya sudah waktunya kamu keluar dari jagadku dan kembali pada kehidupanmu semula…”
Bima : “Mohon maaf pukulun.., saya sangat krasan disini dan masih ada sejumlah pertanyaan yang belum dijawab…”
Ruci : “Jangan gayeng dengan kesenangan dan berharap pengetahuan tuntas digali dalam sekejap. Jagad raya ini tanpa batas dan manusia tidak kenal puas. Tengoklah apa yang terjadi di bawah sana, Bima…!!!”
Begitu menengok ke bawah, tampak pasukan Korawa dipimpin Drona dengan beringas mengobrak-abrik Indraprasta. Sang ibu Kunti dan para istri Pandawa juga telah di ”pikut” menjadi puteri boyongan.
Bima yang sebenarnya Pandawa yang paling berangasan, tentu saja geram menyala-nyala disertai rasa bersalah. Karuan saja karena Bima telah melupakan kewajibannya sebagai benteng Pandawa malah berlama-lama bertualang mencari kepuasan pribadi.
Bima : “Wheelahdalah…!!!, kurang ajar amat Korawa menyerang kami.., apa salah kami..?, Kenapa guru Drona malah memimpinnya, bukan melerainya..!!?”
Ruci : “Bima.., kamu telah sejauh ini belajar bersamaku, mestinya tidak lagi brangasan seperti dulu. Yang kamu cerna jangan hanya yang kamu lihat dan kamu dengar saja… coba rasakanlah dengan kejernihan batinmu…”.
Bima : “Iya pukulun, tapi saya harus kembali karena kewajiban saya menjadi benteng Indraprasta belum selesai…”.
Bagian ini menyampaikan pesan bahwa Bima sebagai orang yang benar-benar beriman harus bisa menyadari bahwa ibadah tidak boleh egois. Karena menghindari sifat egois juga merupakan ibadah. Ibadah tidak boleh melupakan kewajiban keduniaan. Karena kewajiban keduniaan juga merupakan ibadah, bahkan yang paling utama dan alami.
Dewa Ruci yang kecil bercahaya tiba-tiba muncul lagi di hadapan Bima, lantas mengisyaratkan Bima untuk meloncat ke ujung kaki sang Ruci yang mungil itu. Sekali lagi ini mengisyaratkan bahwa segala sesuatu harus dirasakan dengan cermat, tidak boleh hantam kromo hanya mengandalkan emosi. Apa yang dilihat dan didengar belum tentu sebuah kebenaran. Orangnya saja cuman sebesar boneka barby, kenapa harus meloncat untuk mencapai ujung kakinya..?!!!.
Ruci : “Segeralah meloncat ke ujung kakiku..!!!, kamu akan aku kibas supaya cepat sampai ke tempatmu semula..”
Bima : “Sendiko pukulun…”.
Begitu mendarat di ujung kaki mungil yang setinggi gunung, kaki sang Ruci berayun kuat dan cepat bagaikan ahli kempo melakukan “ghaesi keri/tendang A (gajul)”, Wheessss..!!! Bima pun terlontar melayang di udara dan jatuh di pantai yang sama ketika dia hendak nyebur ke samudera. Disana lantas Bima “jugar” dari tafakurnya…
Begitu jugar.., jleg..!!!!, Bima pun kaget..!!!, karena kini berada di tempat semula ketika hendak nyemplung ke samudera. Sikap berdiri dan madepnya pun persis seperti semula. Mungkin mirip filem diputar balik. Lebih bingung lagi ketika dia sadar petualangannya dengan Dewa Ruci yang terasa berhari-hari, ternyata hanya sekejap mata. Kecondongan matahari masih sama dengan ketika hendak nyemplung ke samudera. Andaikan dia membawa arloji, mungkin jarum detiknya saja yang sedikit bergeser. Jadi bukan saja tempatnya, melainkan waktunya pun sepertinya kembali semula.
Bagian ini ingin menjelaskan bahwa Dunia ruhani terbebas dari kekangan dimensi waktu. Dari pengalaman ini, Bima berhasil memiliki pengetahuan tentang asal-usul kehidupan dan target akhir kematian, sehingga hatinya menjadi tenang dan penuh rasa syukur. Dan yang paling harus disyukuri adalah karena ketuntasannya dalam menunaikan kewajiban agar nantinya seirama dengan pusat kekuatan alam.
Rasa syukur ini dilambangkan dengan berganti sandangan. Bima yang semula tampil sangar dengan sandangan lengkap baju zirah dan atribut ksatria yang serba gemerlapan, lantas berganti baju rakyat yang serba sederhana. Kakinya tidak lagi mengenakan gelang keroncong emas. Lehernya tidak lagi mengenakan kalung bertatah berlian. Rambutnya yang gondrong sepunggung digelung kuncup di belakang kepala yang dinamakan gelung “Minangkara”. Topi baju zirah yang bertatah emas berlian ditanggalkannya. Satu-satunya pertanda ksatria hanyalah gelang candrakirana di tangan kanan-kirinya sekadar untuk mengingatkan bahwa dia harus tetap melaksanakan tugas ksatria bela negara.
Selang beberapa saat setelah Bima jugar, Sang Guru Drona yang mengkhawatirkan keselamatan Bima hadir tergopoh-gopoh. Melihat Bima selamat dan sudah tampil beda, Sang Guru Sakti itu menengadah ke atas mengucapkan syukur tiada hentinya dengan penuh rasa haru dan bahagia. Haru melihat kesungguhan sang murid dalam mengejar cita-citanya yang mulia. Bahagia karena kesungguhan itu berakhir dengan keberhasilan.
Bima pun tidak mempersoalkan apa yang dilihatnya terakhir kali ketika bertualang dengan Dewa Ruci. Bima yang sudah arif tahu bahwa itu hanya ilusi gambaran apa yang akan terjadi di masa mendatang. Bima sangat menyadari bahwa jagad raya ini tanpa batas dan manusia masih jauh dari kesempurnaan.
” Tancep Kayon…”
(ObieGoes)