SUKOHARJO – Thinthier Setia Hati, Suatu hari Presiden RI pertama Ir. Soekarno bertemu dengan seorang ahli fisika yang juga ulama sufi, Prof. Dr. H. Kadirun Yahya. Ada perbincangan menarik yang sarat hikmah dalam pertemuan itu. Seperti dikutip dari Arrahmah News, Kadirun Yahya saat itu menjabat Rektor Universitas Panca Budi, Medan. Ia bersama rombongan diterima di beranda Istana Merdeka (sekitar Juli 1965) bersama Prof. Ir. Brojonegoro (alm), Prof. Dr Syarif Thayib, Bapak Suprayogi, Admiral John Lie, Pak Sucipto Besar, Kapolri, Duta Besar Belanda. “Wah.., pagi-pagi begini saya sudah dikepung oleh tiga profesor-profesor,” kelakar Bung Karno (panggilan akrab Presiden Soekarno) ketika menyambut Prof. Kadirun Yahya beserta rombongan. Kemudian Presiden Soekarno mempersilakan rombongan tamunya untuk duduk. “Profesor Kadirun Yahya silakan duduk dekat saya,” pinta presiden Soekarno kepada Prof. Kadirun Yahya, terkesan khusus.
“Professor, ik horde van jou al sinds 4 jaar, maar nu pas onmoet ik jou, ik wou je eigenlijk iets vragen.(saya dengar tentang engkau sudah sejak 4 tahun, tapi baru sekarang aku ketemu engkau, sebenarnya ada sesuatu yang akan aku tanyakan padamu),” kata presiden Soekarno dengan bahasa Belanda.
“Ya.., tentang apa itu Bapak Presiden..?”
“Tentang sesuatu hal yang sudah kira-kira 10 tahun, saya cari-cari jawabannya, tapi belum ketemu jawaban yang memuaskan. Saya sudah bertanya pada semua ulama dan para intelektual yang saya anggap tahu. Tetapi semua jawabannya tetap tidak memuaskan saya”.
“Lantas soalnya apa bapak Presiden..?”.
“Saya bertanya terlebih dahulu tentang yang lain, sebelum saya majukan pertanyaan yang sebenarnya.” jawab Presiden Soekarno.
“Baik Presiden..,” kata Prof. Kadirun Yahya.
“Manakah yang lebih tinggi, Presiden atau Jenderal atau Profesor dibanding dengan surga..?” tanya Presiden.
“Surga…” jawab Prof. Kadirun Yahya.
“Accord (setuju),” jawab Bung Karno. Bung Karno pun bertanya untuk soal berikutnya.
“Lantas manakah yang lebih banyak dan lebih lama pengorbanannya antara pangkat-pangkat dunia yang tadi dibanding dengan pangkat surga..?”, tanyanya…,
Untuk presiden, jenderal, profesor harus berpuluh-puluh tahun berkorban dan mengabdi pada Negara, Nusa dan Bangsa atau pada ilmu pengetahuan. Sedangkan untuk mendapatkan Surga harus berkorban untuk Allah segala-galanya. Berpuluh-puluh tahun terus menerus, bahkan menurut agama Hindu atau Budha harus beribu-ribu kali hidup dan berabdi, baru barangkali dapat masuk Nirwana,” jawab Prof Kadirun.
“Accord..,” kata Bung Karno. “Nu heb ik je te pakken Professor (sekarang baru dapat kutangkap engkau Profesor),” lanjut Bung Karno. Tampak mukanya cerah berseri dengan senyumnya yang khas. Dan kelihatannya Bung Karno belum ingin cepat-cepat bertanya untuk yang pokok masalah.
“Saya cerita sedikit dulu…”, kata Bung Karno.
“Silakan Bapak Presiden…”.
“Saya telah melihat teman-teman saya meninggal dunia lebih dahulu dari saya, dan hampir semuanya matinya jelek karena banyak dosa rupanya. Saya pun banyak dosa dan saya takut mati jelek. Maka saya selidiki Al-Qu’ran dan Al-Hadist bagaimana caranya supaya dengan mudah menghapus dosa saya dan mendapat ampunan dan saya bisa mati dengan tersenyum.”
“Lantas saya ketemu dengan satu Hadis yang bagi saya berharga. Bunyinya kira-kira sebagai berikut,
Rasulullah SAW bersabda : Seorang wanita penuh dosa berjalan di padang pasir, bertemu dengan seekor anjing yang kehausan. Wanita tadi mengambil gayung yang berisikan air dan memberi minum anjing yang kehausan itu. Rasul lewat dan berkata : “Hai para sahabatku, Lihatlah, dengan memberi minum anjing itu, dihapus dosa-dosa wanita itu didunia dan akhirat. Ia dijadikan ahli surga”.
“Nah Profesor.., tadi engkau katakan bahwa untuk mendapatkan surga harus berkorban segala-galanya, berpuluh-puluh tahun untuk Allah baru dapat masuk surga. Itupun barangkali. Sementara sekarang seorang wanita yang berdosa dengan sedikit saja jasa, itupun pada seekor anjing pula, dihapuskan dosanya oleh Tuhan dan ia dijadikan ahli surga. How do you explain it Professor…?” tanya Bung Karno.
Profesor Kadirun Yahya terlihat tidak langsung menjawab. Ia hening sejenak. Lantas berdiri dan meminta kertas. “Presiden.., U zei, det U in 10 jaren’t antwoord niet hebt kunnen vinden, laten we zien (Presiden, tadi bapak katakan dalam 10 tahun tak ketemu jawabannya, coba kita lihat), mudah-mudahan dengan bantuan Allah dalam 2(dua) menit saja, saya coba memberikan jawabannya dan semoga dapat memuaskan..,” katanya. Keduanya adalah sama-sama exacta, Bung Karno adalah seorang insinyur dan Profesor Kadirun Yahya adalah ahli kimia/fisika. Di atas kertas Prof Kadirun Yahya mulai menuliskan penjelasannya.
10/10 = 1 ; “Ya” kata Presiden.
10/100 = 1/10 ; “Ya” kata sang Presiden. 10/1000 = 1/100 ; “Ya” kata Presiden. 10/10.000 = 1/1000 ; “Ya” kata Presiden.
(Berapa saja + Apa saja) /∞ = 0 ; “Ya” kata Presiden.
Dosa / ∞ = 0 ; “Ya” kata Presiden.
“Nah.., lanjut Prof..,
1 x ∞ = ∞ ; “Ya” kata Presiden.
½ x ∞ = ∞ ; “Ya” kata Presiden.
1 zarah x ∞ = ∞(tak terhingga) ; “Ya” kata Presiden.
“… ini artinya, sang wanita, walaupun hanya 1 zarah jasanya, bahkan terhadap seekor anjing sekalipun, karena HATI dan KeSADARan wanita tersebut ia mengkaitkan dan menggandengkan gerakannya dengan yang Maha Akbar. Mengikut sertakan yang Maha Besar dalam gerakan-gerakan pikiran, perasaan dan kesadarannya, maka hasil dari gerakannya itumenghasilkan ibadah yang begitu besar, yang langsung dihadapkan pada dosa-dosanya, yang pada saat itu juga tanpa disadari hancur berkeping-keping lah dosa-dosanya. Ditorpedo oleh pahala yang Maha Besar itu.
1 zarah x ∞ = ∞ Dan, Dosa / ∞ = 0.
“Ziedaar hetantwoord, Presiden (Itulah dia jawabannya Presiden),” jawab Kadirun Yahya meyakinkan.
Bung Karno diam sejenak dan kemudian mengatakan “Geweldig (hebat)”. Bung Karno pun semakin penasaran. Masih ada lagi pertanyaan yang ia ajukan.
“Bagaimana agar dapat hubungan dengan Tuhan..?” katanya.
Profesor Kadirun Yahya menjawabnya dengan lugas. “Dengan mendapatkan frekuensi-Nya. Tanpa mendapatkan frekuensi-Nya tak mungkin ada kontak dengan Tuhan. Lihat saja.., walau pun 1 mm jaraknya dari sebuah zender radio, kita letakkan radio dengan frekuensi yang tidak sama, maka radio kita itu tidak akan mengeluarkan suara dari zender tersebut. Begitu juga dengan Tuhan, walaupun Tuhan berada lebih dekat dari urat leher kita, tak mungkin ada kontak, jika frekuensi-Nya tidak kita dapati dan dapatkan,” jelasnya.
“Bagaimana agar dapat frekuensi-Nya..!?, sementara kita adalah manusia kecil yang serba kekurangan..?” tanya Bung Karno.
“Melalui isi dada Rasulullah SAW..,” jawab Prof. Kadirun. Dalam Hadits Qudsi berbunyi yang artinya : “Bahwasanya Al-Qur’an ini satu ujungnya di tangan Allah dan satu lagi di tangan kamu, maka peganglah kuat-kuat dia(Al-Qur’an)..,” lanjutnya. Prof. menyambung,
“Begitu juga dalam QS Al-Hijr ayat 29, “Maka setelah Aku sempurnakan dia dan Aku tiupkan di dalamnya sebagian Ruh-Ku, rebahkanlah dirimu bersujud kepada-Nya”.
“Nur Ilahi yang terbit dari Allah sendiri adalah tali yang nyata antara Allah dengan Rasulullah. Ujung Nur Illahi itu ada didalam dada Rasulullah. Ujungnya itulah yang kita hubungi, maka jelas kita akan dapat frekuensi dari Allah..,” kata Prof. melanjutkan. “Lihat saja sunnatullah.., hanya cahaya matahari saja yang satu-satunya sampai pada matahari.Tak ada yang sampai pada matahari melainkan cahayanya sendiri. Juga gas-gas yang saringan-saringannya tak ada yang sampai matahari, walaupun edelgassen seperti Xenon, Crypton, Argon, Helium, Hydrogen dan lain-lain. Semua vacuum..!. Yang sampai pada matahari hanya cahayanya karena ia terbit darinya dan tak bercerai siang dan malamnya dengannya. Kalaulah matahari umurnya 1 (satu) juta tahun, maka cahayanya pun akan berumur sejuta tahun pula. Kalau matahari hilang maka cahayanya pun akan hilang. Matahari hanya dapat dilihat melalui cahayanya, tanpa cahaya, mataharipun tak dapat dilihat. Namun cahaya matahari.., bukanlah matahari. Cahaya matahari adalah getaran transversal dan longitudinal dari matahari itu sendiri (Huygens),” jelas Prof. Kadirun. Prof. Kadirun Yahya menyimpulkan.., Dan Rasulullah adalah satu-satunya manusia akhir zaman yang mendapat Nur Ilahi dalam dadanya. Mutlak jika hendak mendapatkan frekuensi Allah, ujung dari nur itu yang berada dalam dada Rasulullah harus dihubungi…”
“Bagaimana cara menghubungkannya, sementara Rasulullah sudah wafat sekian lama..?” tanya Bung Karno.
Prof. menjawab, “Memperbanyak sholawat atas Nabi tentu akan mendapatkan frekuensi Beliau, yang otomatis mendapat frekuensi Allah SWT. Tidak akan cepat Ku kabulkan doa seseorang, tanpa Shalawat atas Rasul-Ku. Doanya tergantung di awang-awang (HR. Abu Daud dan An-Nasay).”
Jika diterjemahkan secara akademis mungkin kurang lebih : “Tidak engkau mendapat frekuensi-Ku tanpa lebih dahulu mendapat frekuensi Rasul-Ku”.
Sontak Presiden berdiri. “You are wonderful..!!!” teriaknya. Sejurus kemudian, dengan merangkul kedua tangan profesor, Presiden pun bermohon : “Profesor.., doakan saya supaya dapat mati dengan tersenyum dibelakang hari nanti…”
Lima tahun kemudian (1970), Presiden Soekarno meninggal dunia dengan senyum ketika menutup mata untuk selama-lamanya. (ObieGoes)