Solo – Ronggowarsito tidak hanya di kenal sebagai pujangga agung sekaligus pujangga penutup Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, namun lebih dari itu, Ronggowarsito juga berani menjadikan sastra sebagai sarana untuk melakukan kritik sosial.
Hal itu terungkap pada diskusi budaya yang di selenggarakan oleh Lesbumi ( Lembaga Seni Dan Budaya Muslimin ) dengan tema “Ronggowarsito dalam perjalanan karya sastranya” di aula PCNU Kota Surakarta. Selasa (15/2/22) malam.
Diskusi budaya yang di hadiri puluhan budayawan dan akademisi, di pantik oleh Siti Muslifah, S. S, M. Hum, selaku Dosen Fakultas Sastra Universitas Negeri Sebelas Maret ( UNS). Sedangkan untuk moderator di pandu Dimas Suro Aji dari Litbang Lesbumi.
Perjalanan hidup Bagus Burhan ( nama kecil Ronggowarsito ) semasa nyantri di Pondok Pesantren Gebang Tinatar, Ponorogo, tak lepas dari liku liku kehidupan yang pernah ia jalani saat itu.
Sampai akhirnya Bagus Burhan menemukan kesadaran dan mengambil jalan spiritual dengan cara laku kungkum selama 40 hari hanya dengan memakan satu pisang tiap hari, ia memperoleh wahyu kapujanggan.
Dari semula anak bengal yang tak mampu membaca quran, tiba tiba mahir dan mampu menerjemahkannya. Ronggowarsito juga mampu membaca kitab berbahasa jawa kuna dari berbagai jaman dan menerjemahkanya.
Ia di anggap juga mampu memahami bahasa binatang, membaca naluri seekor binatang.
Nama Ronggowarsito tak pernah bisa di pisahkan dengan kisah ramalan ramalan yang pernah di buatnya. Tak terkecuali kemerdekaan bangsa dan Negara Indonesia dari penjajahan, juga pernah diramal oleh Ronggowarsito. (jk)
sumber : Lokalbali.com